KAJIAN HADIS ORMAS ISLAM LDII
Bimo Dai Baihaqi, Dyah Ayu Damayanti, Farissa Rahmah Putri
PENDAHULUAN
Di
kalangan umat beragama, dewasa ini
bermunculan aliran-aliran baru yang diantaranya dianggap menyimpang dari
kemurnian ajaran Islam. Salah satu aliran agama yang tumbuh di kalangan umat
Islam Indonesia adalah Lembaga Dakwah Islam Indonesia yang biasa disingkat
LDII. Paham keagamaan yang dikembangkan oleh LDII dianggap kontroversial dan
meresahkan masyarakat di berbagai daerah, karena dianggap masih mengajarkan
paham Darul Hadits / Islam Jama’ah yang telah dilarang oleh Jaksa Agung
Republik Indonesia pada tahun 1971 (SK Jaksa Agung RI No. Kep-089/D.A/10/ 1971
tanggal 29 oktober 1971).
Diantara pokok ajaran dan praktek keagamaan mereka ada hal-hal yang dianggap menyimpang dari kemurnian ajaran Islam, terutama yang dianut kaum muslim Indonesia. Atas dasar inilah penulis termotivasi untuk menelusuri hakikat LDII yang tentunya tetap mengedepankan obyektifitas data dan fakta sejarahnya. Adapun permasalahan yang akan dikemukakan dalam tulisan ini adalah bagaimana sejarah dan perkembangan kajian hadis dalam ormas islam LDII, Pemikiran dan karakteristik kajian hadis dalam ormas islam LDII, Kontribusi ormas islam LDII dalam kajian hadis di indonesia, Tokoh-tokoh hadis dalam ormas islam LDII dan karya-karya nya dalam bidang hadis.
PEMBAHASAN
Sejarah dan Perkembangan Hadis dalam Ormas Islam LDII
LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) merupakan nama
baru dari sebuah aliran Islam yang cukup besar dan tersebar di
Indonesia. Pendiri dari aliran ini adalah Kyai Nur Hasan al-Ubaidah
Lubis (luar biasa). Sedangkan nama kecilnya adalah Madigal, seorang pribumi
Jawa Timur. Nur Hidayat menyebutkan bahwa awal berdirinya lembaga ini pada
tahun 1951 dengan nama Darul Hadis bertempat di Desa Burengan, Banjaran,
Kediri, Jawa Timur.[1]
Selain di Kediri, terdapat dua daerah
lain yang diduga menjadi asal munculnya aliran ini, yaitu Desa Gadingmangu, Kecamatan
Perak Kabupaten Jombang dan Desa Pelem, Kertosono, Nganjuk Jawa Timur. Pada tahun 1968, Pengurus Aliran Kepercayaan Masyarakat
(PAKEM) Jawa Timur membubarkan aliran ini karena ajarannya dianggap menyimpang
dan meresahkan masyarakat setempat. Kemudian di tahun yang sama, aliran ini
mengganti nama dengan Islam Jamaah (selanjutnya disebut IJ).
Dikarenakan ajaran-ajarannya dianggap menyimpang serta menimbulkan keresahan di masyarakat terutama di Jakarta, maka berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung RI tanggal 29 Oktober 1971 secara resmi gerakan Islam Jamaah dilarang di seluruh di Indonesia. Kemudian pada bulan November tahun 1990, mereka mengadakan Musyawarah Besar Lemkari bertempat di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta dan berganti nama menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia).[2]
Perkembangan LDII sekarang, dapat dilihat dari beberapa periode: Periode pertama sekitar tahun 1940-an, ini adalah masa awal H. Nurhasan (Madigol) menyampaikan ilmu Manqul-Musnad-Muttashil, yaitu Ilmu Al-Quran Manqul dan Ilmu Hadits Manqul. Pada tahapan ini juga ia mengajarkan Qiro’at dan ilmu beladiri pencak silat kanuragan. Pada tahun 1951 ia memproklamirkan Pondok Pesantren Darul-Hadits.
Periode
kedua tahun 1951, adalah masa membangun asrama pengajian Darul Hadits berikut pesantren-pesantrennya
di Jombang, Kediri, dan di Jalan Petojo Sabangan Jakarta, hingga sang Madigol
bertemu dan mendapat konsep asal doktrin Imamah dan Jama’ah (yaitu Bai’at,
Amir, Jama’ah, Taat) dari imam dan khalifah Dunia Jama’atul Muslimin Hizbullah,
yaitu Imam Wali al-Fatah, yang pada zaman Bung Karno menjabat Kepala Biro
Politik Kementerian Dalam Negeri RI, yang dibai’at pada tahun 1953 di Jakarta
oleh para Jama’ah dan Madigol. Adapun mantan Anggota DH/IJ Ust. Bambang Irawan
Hafiluddin pada tahun 1960 ikut berbai’at kepada Wali al-Fatah di Jakarta.[3]
Periode ketiga tahun
1960, adalah masa periode bai’at kepada Madigol. Yaitu ketika ratusan Jam’ah
Pengajian Asrama Manqul Qur’an dan Hadits di Desa Gading Mangu menangis meminta
sang Madigol agar mau dibai’at dan ditetapkan menjadi Imam/Amir Mu’minin.
Mereka menyatakan sanggup taat dengan mengucap Syahadat, Sholawat, dan kata
bai’at “Sami’na wa ‘atho’na, Mas tatho’na“ .
Periode keempat, penyebaran doktrin bai’at dan mengajak anggota sebanyak-banyaknya, setelah masa bai’at sang Madigol. Pada periode ini masa bergabungnya Bambang Irawan, Drs. Nur Hasyim, Raden Eddy Masiadi, Notaris Mudiyomo, dan Hasyim Rifa’i, hingga masa pembinaan aktif oleh mendiang Jenderal Soedjono Hoemardani dan Jenderal Ali Moertopo.
Berikut para perwira Opsus-nya, yaitu masa pembinaan dengan naungan
surat sakti BAPILU SEKBER GOLKAR dengan Surat Keputusan No. KEP.
2707/BAPILO/SBK/1971 dan Radiogram PANGKOPKAMTIB No. TR 105/KOMKAM/III/1971
atau masa LEMKARI sampai dengan saat LEMKARI dibekukan di seluruh Jawa Timur
atas desakan keras Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur pimpinan K.H.
Misbach hingga masa
meninggalnya Sang Madigol pada hari Sabtu 13 Maret 1982 dalam pristiwa
kecelakaan lalu lintas di dekat Cirebon, yang saat itu ia mengendarai sepeda
motor Mercy Tiger. Namun, pristiwa itu dirahasiakan dan posisinya digantikan
oleh putra sulungnya yang bernama Abdu Dhohir.
Periode kelima, masa
LEMKARI berganti nama tahun 1990/1991 menjadi LDII hinga sekarang. Masa ini
disebut sebagai masa kemenangan, sebab LDII berhasil go-internasional, masa
suksesi besar setelah antek-antek Madigol berhasil menembus Singapura,
Malaysia, Saudi Arabiya, Amerika Serikat dan Eropa, bahkan Australia, tentu
saja dengan siasat Taqiyahnya (Fathonah, Bithonah, Budi Luhur Luhuring budi).[4]
Pemikiran dan Karakteristik Kajian Hadis Ormas Islam LDII
1. Pemikiran
Dalam aliran LDII, menyatakan bahwa setiap ilmu apapun yang
diperoleh, termasuk juga hadis dan alatnya, yang boleh diterima adalah yang
manqul ( yang keluar dari ucapan sang amir / imam ). Mereka memiliki keyakinan
bahwa hadis yang diriwayatkan baru dianggap sah apabila memenuhi tiga syarat
yaitu manqul ( bertemu dengan guru secara langsung ), muttasil ( bersambung
kepada Rasulullah ), dan musnad ( memiliki sanad ).
Manqul bermakna dinukil ( dipindahkan ), diriwayatkan, diambil
langsung dari sumbernya, berhadap hadapan langsung dan bukan melalui tulisan
maupun media lainnya. Yang dimaksud disini adalah hadis tersebut harus dinukil
langsung dari lisan sang amir yaitu Nurhasam al Ubaidah.
Sedangkan yang dimaksud
dengan muttasil dan musnad adalah hadis tersebut memiliki ketersambungan sanad
yang sampai kepada Rasulullah. Berawal dari Rasulullah saw. Menyampaikan hadis
kepada sahabatnya, dari sahabat kepada para tabi’in, tabi’tabi’in dan
seterusnya sampai akhirnya kepada kita sekarang ini melalui sanad yang
shahih. Menurut H.Nurhasan sendiri,
sanad yang terakhir tersebut adalah dirinya sendiri. Jadi, setiap hadis ataupun ilmu apapun yang
dipelajari haruslah melalui H.Nurhasan, baik materinya, bacaannya, maupun
penjelasannya. Tanpa melalui beliau, hadis tersebut tidak sah dan tidak boleh
dipergunakan oleh kaum muslimin.
Hadis
dha’if ( lemah ), menurut kelompok LDII dianggap sebagai sesiatu yang
menjijikkan, hingga ketika seseorang menyampaikan atau menggunakan hadis dha’if
dalam membuat dalil, mereka akan bergegas mencemooh, mencela dan langsung
menolaknya. Mereka juga mendudukkan hadis dha’if seperti layaknya hadis palsu
yang sama sekali tidak boleh digunakan dalam berhujjah maupun untuk Fadhailul
a’mal. [5]
Bentuk
bentuk pemikiran Lembaga Dakwah Islam Indonesia ( LDII ) Pokok
pokok ajaran LDII yaitu :
a. Orang
silam di luar kelompok mereka adalah kafir dan najis, termasuk kedua orang tua sekalipun.
b. Kalau
ada orang diluar kelompok mereka melakukan shalat di masjid mereka , maka bekas tempat shalatnya
di cuci karena dianggap sudah terkena najis.
c. Wajib
taat kepada amir atau imam, “ tidak ada islam tanpa jama’ah, tidak ada jama’ah
tanpa keamiran, tidak ada keamiran tanpa ketaatan”.
d. Mati
dalam keadaan belum bai’at kepada amir atau imam LDII makan akan mati
jahiliyyah ( mati kafir ).
e. Al
Qur’an dan Hadis yang boleh diterima adalah yang manqul ( yang keluar dai mulut
imam atau amir mereka). Yang keluar atau di ucapkan oleh mulut muut yang bukan
imam / amir mereka maka haram untuk diikuti. “ barang siapa berkata mengenai
kitab Allah dengan pendapatnya (tanpa ilmu ), maka dia salah walau benar”.
f. Haram
mengaji Al Qur an dan Hafidz kecuali
kepada imam/amir mereka.
g. Dosa
bisa ditebus kepada sang amir / imam, dan besarnya tebusan tergantung besar
kecilnya dosa yang diperbuat, sedangkan yang menentukannya adalah imam/ amir.
h. Harus
rajin membayar infaq, shadaqah, dan zakat kepada amir/imam, dan haram
mengeluarkannya kepada orang lain.
i. Harta
benda diluar kelompok mareka dianggap halal untuk diambil atau dimiliki
walaupun dengan cara bagaimanapun memperolehnya seperti
mencuri,merampok,korupsi,menipu,dan lain lain, asal tidak ketahuan /
tertangkap. Dan kalau berhasil
menipu orang lslam di luar golongan
mereka, dianggap berpahala besar. “ dia-lah Allah yang menjadikan segala yang
ada di bumi untuk kamu.” ( Q.S. Al baqarah : 29 ).
j. Bila
mencuri harta orang lain yang bukan golongan LDII lalu ketahuan, maka salahnya bukan mencurinya itu, tetapi kenapa mencuri kok ketahuan.
k. Harta
, uang , zakat , infaq , shadaqah yang sudah di berikan kepada amir/imam, haram
ditanyakan kembali catatannya atau digunakan kembalu-I uang zakat tersebut.
l. Haram
membagikan daging qurban atau zakat fitrah kepada orang lslam di luar kelompok
mereka.
m. Haram
shalat dibelakang imam yang bukan kelompok mereka, kalaupun terpaksa sekali,
tidak usah berwudhu karena shalatnya harus di ulang kembali.
n. Haram
nikah dengan orang diluar kelompok jama’ahnya atau di luar jama’ahnya.[6]
o. Perempuan
LDII kalau mau bertamu ke rumah orang yang bukan kelompok mereka, maka memilih
waktu pada saat haid, karena badan dalam keadaan kotor sehingga ketika di rumah
non LDII yang dianggap najis itu tidak perlu dicuci lagi.
p. Kalau
ada orang diluar kelompok mereka yang bertamu dirumah , maka bekas temoat
duduknya dianggap kena najis.
q. Haram
hukumnya bertawassu istighisah dan pelakunya di hukumi syirik.
r. Semua
bid’ah adalah sesat dan pelakunya akan masuk neraka selamanya.” Setiap bid’ah
adalah sesat , dan setiap kesesatan berada di neraka “ ( Al Hadis). Mengharamkan
tradisi islam seperti Maulidan, Yasinan dan Tahlilan dll.
2. Karakteristik
Islam Jama‘ah adalah suatu nama jama‘ah sempalan yang sangat
identik dengan khawarij. Kelompok ini pusatnya di Indonesia dan hampir tidak
terdengar namanya di luar Indonesia, walaupun mereka mengaku-ngaku bahwa
jama‘ah mereka ini telah mendunia. Jama‘ah ini didirikan oleh seorang yang
bernama Nur Hasan Ubaidah, yang menurut pengakuannya bahwa jema‘ah ini telah
ada sejak tahun 1941. Namun yang benar ia baru dibai‘at pada tahun 1960. Kelompok ini
berdiri pertama kalinya dengan nama Darul Hadits. Lalu kemudian berganti-ganti
nama menjadi YPID (Yayasan Pendidikan Islam Djama‘ah), lalu LEMKARI dan pada
tahun 1991 menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia).
Penggantian ini dalam rangka menyesuaikan dengan keadaan dan supaya
tidak ketahuan jejak mereka jika mulai timbul ketidaksukaan dari masyarakat.
Berikut sekilas tentang jemaah mereka. Sistem Pengajian Sistem pengajian mereka
disebut mangkul.
Yaitu bahwasanya kajian
hadits dan Al-Qur‘an harus memakai isnad. Mereka berdalil dengan perkataan
Ibnul Mubarok: Isnad itu bagian dari agama. Kalau tanpa isnad, maka siapa saja
akan berkata apa yang dia sukai. Dalam masalah hadits, Nur Hasan Ubaidah
mengaku mempunyai isnad sampai ke Imam Bukhari dan Imam-Imam yang lainnya.
Sedang dalam masalah Al-Qur‘an, dia mengaku mempunyai isnad sampai ke Ali bin
Abu Thalib dan Utsman bin Affan, bahkan sampai ke malaikat Jibril.
Siapa saja yang memiliki
isnad selain Islam Jema‘ah dianggap tidak sah dan palsu. Menurut mereka barang
siapa yang beramal tanpa isnad sama saja amalnya tidak sah dan tidak diterima
oleh Allah. Sehingga wajar saja jika kita masuk mesjid atau rumah mereka,
mereka selalu mengepel bekas kita karena menganggap toharoh kita tidak sah
sehingga kita dianggap membawa najis.[7]
Islam
Jama’ah dan Hadits Nabi Menurut mereka, shahih tidaknya suatu hadits tergantung
kepada amir mereka. Sebuah hadits palsu dapat dianggap hadits shahih jika
menurut amir mereka hadist shahih. Sistem keamiran menurut mereka, mendirikan
kelompok (jema’ah) dan berbai’at terhadap amir adalah wajib. Dalil-dalil yang
mereka gunakan adalah:
1. Hadits
tentang iftiroq (terpecahnya) umat menjadi 73 golongan. Dan dalam suatu lafaz
hasits tersebut Rosulullah menjelaskan hanya satu golongan yang masuk surga
yaitu al-Jama’ah. Menurut mereka, itulah jema’ah mereka yang disebut oleh
Rasulullah saw.
2. Sebuah
hadits yang menurut mereka diriwayatkan oleh Imam Ahmad, namun ternyata tidak
ada. Yaitu hadits: Tidak ada islam kecuali dengan jama‘ah dan tidak ada jama‘ah
kecuali dengan amir dan tidak ada amir kecuali dengan bai‘at. Itu hanyalah
ucapan Umar bin Al-Kaththab yang diriwayatkan oleh Ad-Darimi dengan sanad yang
dhaif didalam sanadnya ada perawi majhul dan lemah (lihat silsilah fatawa
syar’iyyah karya syaikh Abul-Hasan As-Sulamani fatwa no.39)
3. Surat
Al-Isro’ ayat 71 “Pada hari yang kami panggil setiap orang dengan imamnya
(kitab catatan amalnya), maka barang siapa yang didatangkan kitabnya dari
kanannya, maka mereka membaca kitabnya dan mereka tidak dirugikan sedikitpun.”
Menurut mereka pada hari kiamat nanti setiap orang akan dpanggil bersama
imamnya yaitu amirnya. Barang siapa yang tidak punya amir, maka dia akan
dikumpulkan bersama orang-orang kafir.
Anggota-anggota
Islam Jama‘ah sangat taat kepada amirnya. Mereka berdalil dengan surat An-Nisa
ayat 59: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah
kepada Rosul dan Ulil amri diantara kalian.” Menurut mereka hanyalah disebut
orang beriman jika telah taat kepada Allah, Rasulullah, dan amir mereka. Tidak
cukup hanya taat kepada Allah dan Rosulullah.
Jadi perintah Allah sama dengan perintah
Rasul sama dengan perintah amir mereka. Bahkan jika mereka berbuat ma‘siat
kepada Allah, bisa dimaafkan dengan cukup beristigfar. Namun jika bersalah
kepada amir, maka tidak cukup hanya beristigfar tapi juga harus dengan membuat
surat pernyataan tobat (yang hal ini merupakan tasyabuh dengan orang-orang
Kristen Katolik) dan membayar kafarah yang ditentukan menurut selera amir
mereka.
Perekonomian Jalannya kegiatan amir dan para
pengurus jema‘ah mereka yaitu dengan menarik sodaqoh wajib dari setiap
anggotanya sekian persen dari pendapatannya. Besar sodaqoh wajib (yang lebih
cocok disebut pajak) ini berubah-ubah sesuai keputusan amir, dan setiap anggota
tidak sama berdasarkan kekayaan mereka. Pengkafiran terhadap orang-orang di
luar jama’ah mereka Perlu diketahui bahwasanya jenis anggota mereka secara umum
terbagi dua, yaitu fanatik (bersifat keras tanpa toleransi) dan moderat (ada
sedikit toleransi terhadap orang-orang diluar jema‘ah mereka). Yang moderat ini
biasanya adalah anggota-anggota baru yang mereka anggap seperti muallaf. Mereka
masih mau sholat dengan orang-orang diluar jema‘ah mereka, namun lama-kelamaan
juga akan sama seperti yang fanatik Sedangkan yang fanatik, mereka menganggap
semua orang yang diluar kelompok mereka adalah kafir.
Sehingga
mereka tidak mau sholat di imami atau di mesjid orang-orang yang bukan anggota
jema‘ah mereka. Bahkan
mereka boleh mengambil harta orang diluar jema‘ah mereka asal tidak
membahayakan mereka. Aqidah Mereka Menurut mereka orang yang melakukan dosa
besar kekal di dalam neraka. Dan orang-orang yang tidak membai’at imam mereka
adalah kafir dan najis.[8]
Selain itu mereka mempunyai suatu aqidah yang
identik dengan taqiyyahnya orang-orang Syi‘ah. Mereka menamakannya Fathonah
bithonah Budiluhur Luhuringbudi Karena Allah. Yaitu bolehnya berbohong demi
kepentingan jema‘ah mereka. Mereka berdalil dengan kisah berbohongnya Nabi
Ibrahim ketika berkata bahwa patung besar yang telah menghancurkan
patung-patung yang kecil. Sistem Doktrin Ajaran Mereka Kekuatan doktrinnya
tertumpu pada ‘Sistem 354‘ yaitu: 3 = Jamaah, Quran dan Hadits. 5 = Program
lima bab berisi janji/sumpah bai’at keepada sang amir yaitu: Mengaji, Mengamal,
Membela, Sambung jamaah dan Taat Amir. 4 = Tali pengikat Iman yang terdiri
dari: Syukur kepada Amir, Menganggungkan Amir, Bersungguh-sungguh dan Berdoa.
Peringatan
Kita harus berhati-hati terhadap mereka, jangan sampai tertipu oleh mereka.
Sering sekali mereka menutupi sifat-sifat mereka. Sehingga ketika mereka
mendakwahi orang awam seakan-akan mereka seperti orang biasa yang mau berjabat
tangan dengan orang lain, tidak mengkafirkan orang lain, dan tidak menganggap
orang lain membawa najis dan sebagainya. Padahal ini semua adalah tipuan mereka
yang mereka sebut dengan bitonah agar bisa mempunyai anggota yang
sebanyak-banyaknya. (dinukil dengan ringkas dari kaset sesatnya Islam jama’ah
oleh Ustadz Hasyim Rifa’i dahulunya beliau adalah anggota Islam Jama’ah dan
buku Bahaya Islam Jamaah Lemkari dan LDII).[9]
Kontribusi Oramas
Islam LDII
dalam Perkembangan Hadis di Indonesia
Dalam aliran LDII, hadis baru dianggap sah apabila memenuhi tiga
syarat yaitu manqul (bertemu dengan guru secara langsung), muttasil
(bersambung kepada Rasulullah), dan musnad (memiliki sanad). Mereka
menyatakan bahwa setiap ilmu apapun yang diperoleh, termasuk juga hadis dan
alatnya, yang boleh diterima adalah yang manqul (yang keluar dari ucapan
sang imam).
Manqul bermakna
dinukil (dipindahkan), diriwayatkan, diambil langsung dari sumbernya, harus
dinukil langsung dari lisan sang Amir yakni Nurhasan al Ubaidah. Yaitu harus
berhadapan langsung dan bukan melalui tulisan maupun media lainnya. Sedangkan muttasil
dan musnad diartikan bahwa hadis tersebut harus memiliki ketersambungan
sanad yang sampai kepada Rasulullah. Berawal dari Rasulullah saw. menyampaikan
kepada sahabatnya, dari sahabat kepada para tabi’in, dari tabi’in
kepada tabi’ tabi’in dan seterusnya sampai akhirnya kepada kita sekarang
ini melalui sanad yang shahih.[10]
Bahkan
Menurut H. Nurhasan sendiri, sanad yang terakhir tersebut adalah dirinya
sendiri. Sehingga setiap hadis ataupun ilmu apapun haruslah melalui H. Nurhasan,
baik bacaan, materi maupun penjelasannya. Tanpa melalui beliau, hadis tersebut
tidak sah dan tidak boleh dipergunakan oleh kaum muslimin.
Mereka
juga mendudukkan hadis dhaif seperti layakya hadis palsu yang sama
sekali tidak boleh digunakan dalam berhujjah maupun untuk fadhailul a’mal.
Hadis dhaif (lemah), menurut kelompok LDII dianggap sebagai sesuatu yang
menjijikkan, hingga ketika seseorang menyampaikan atau menggunakan hadis dhaif
dalam membuat dalil, mereka akan bergegas mencemooh, mencela dan langsung
menolaknya.[11]
Tokoh Tokoh dalam Ormas Islam LDII
1.
Nur Hasan al-Ubaidah Lubis
Pendiri
dari aliran Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) adalah Kyai Nur Hasan
al-Ubaidah Lubis, nama kecil beliau adalah Madigal, seorang pribumi asal Jawa Timur.
Aliran ini merupakan nama baru dari sebuah aliran Islam yang cukup besar dan
tersebar di Indonesia.[12]
Nur Hidayat menyebutkan, pada tahun 1951 awal berdirinya lembaga ini dinamakan
Darul Hadis bertempat di Desa Burengan, Banjaran, Kediri, Jawa Timur. Beberapa
tempat juga terdapat di dua daerah lain yang diduga menjadi asal munculnya
aliran ini, yaitu Desa Gadingmangu, Kecamatan Perak Kabupaten Jombang dan Desa
Pelem, Kertosono, Nganjuk Jawa Timur. Pada tahun 1968, aliran ini dibubarkan
karena ajarannya dianggap menyimpang dan meresahkan masyarakat setempat oleh
Pengurus Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Jawa Timur. Maka dari itu,
aliran ini mengganti nama dengan Islam Jamaah (selanjutnya disebut IJ) ditahun
yang sama.
Setelah ajaran ini dianggap menyimpang
maka berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung RI tanggal 29 Oktober 1971 secara
resmi gerakan Islam Jamaah dilarang di seluruh di Indonesia. Bulan November
tahun 1990, mereka mengadakan Musyawarah Besar Lemkari bertempat di Asrama Haji
Pondok Gede Jakarta dan berganti nama menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam
Indonesia).[13]
2.
Nur Hasyim
3.
Edi Masyadi
4.
Bahroni Hertanto
5.
Soetojo Wirjo Atmodjo
6.
Wijono
[1] Lembaga
Penelitian dan Pengkajian Islam, Bahaya Islam Jamaah-LEMKARI-LDII (Jakarta:
Al-Kautsar, 1999), 5-6.
[2] Nur Hidayat
Muhammad, Benteng Ahlussunnah wal Jamaah: Menolak Faham Salafi, Wahabi, MTA, Hizbut
Tahrir dan LDII (Kediri: Nasyrul Ilmi, 2012), 13.
[3] Ottoman.
“Asal-usul dan Perkembangan Lembaga Dakwah Islam Indonesia
(LDII)” dalam Jurnal UIN Raden Fatah Palembang, 21.
[4] Ibid., hal 22
[5] Sri Pajriah , Gerakan Lembaga
Dakwah Islam Indonesia , ( Surakarta : FATABA , 2013 ) , 35
[6] Syamsul Arifin, studi agama
Perspektif Sosiologis dan Isu Isu Kontemporer, ( Malang : Umum Press , 2009
) , 257
[7] Muhajirin , Syariah Kehidupan
, ( Jakarta : Gema Insani Press, 2014 ) , 201
[8] Muhammad Hasbi
, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis , ( Semarang : Pustaka Rizki Putra , 2009 )
, 123
[9] Ibid., Hal 125
[10]
Ottoman.
“Asal-usul dan Perkembangan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)” dalam Jurnal
UIN Raden Fatah Palembang, 26.
[11] Nur
Hidayat Muhammad, Benteng Ahlussunnah wal Jamaah: Menolak Faham Salafi, Wahabi,
MTA, Hizbut Tahrir dan LDII (Kediri: Nasyrul „Ilmi, 2012), 45.
[12]
Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, Bahaya Islam JamaahLEMKARI-LDII
(Jakarta: Al-Kautsar, 1999), 5-6.
[13] Nur
Hidayat Muhammad, Benteng Ahlussunnah wal Jamaah: Menolak Faham Salafi, Wahabi,
MTA, Hizbut Tahrir dan LDII (Kediri: Nasyrul „Ilmi, 2012), 14.
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon